Akibat perburuan masif, dua spesies laut yang dilindungi yaitu ikan capungan Banggai atau Banggai cardinal fish (Pteragon kauderni) dan lobster bertelur, diyakini jumlahnya terus menurun. Untuk mengatasinya, berbagai upaya dilakukan Pemerintah. Salah satunya dengan pelepasliaran dua spesies tersebut di habitat aslinya.
Seperti dilakukan pada pekan lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melepasliarkan sebanyak 1.000 ekor ikan Banggai cardinal fish (BCF) di Pantai Kilo Lima, Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Bersama dengan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga melepasliarkan 25 ekor lobster di bawah ukuran.
Menurut Susi, pelepasliaran menjadi bukti keseriusan Pemerintah melindungi biota laut yang status kelestariannya kian terancam. Susi mengharap ini menjadi contoh bagi siapapun terlibat menjaga dan melindungi keberadaan dua spesies tersebut.
“Keberlanjutan harus dijaga, lobster bertelur, kepiting bertelur jangan diambil, lepasin lagi (kalau tidak sengaja tertangkap). Satu kepiting, satu lobster yang bertelur itu kalau dilepas mungkin bisa (menetaskan) paling sedikit 1.000 ekor,” ungkapnya.
baca : Banggai Cardinal ditengah Meningkatnya Kepopuleran dan Ancaman Populasinya
Susi menjelaskan, untuk seekor bibit yang dihasilkan dapat tumbuh menjadi seberat 0,5 kilogram dan itu berarti dari 1.000 ekor bibit yang dihasilkan oleh seekor induk dapat tumbuh menjadi 500 kg lobster atau kepiting yang bernilai tinggi.
Bupati Banggai Herwin Yatim pada kesempatan yang sama mengatakan potensi perikanan di perairan Kabupaten Banggai memang begitu besar. Dengan luas laut sekitar 20.309 km persegi yang berada di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 715 Teluk Tomina dan WPP 714 Teluk Tolo, serta panjang garis pantai 613 km.
“Potensi lestari perikanan laut Banggai sebesar 48.621 ton per tahun yang terdiri atas ikan pelagis 39.000 ton per tahun dan ikan demersal lebih kurang 10.000 ton per tahun,” jelasnya.
Kabupaten Banggai juga memiliki areal pertambakan seluas 8.825 hektar, dengan budidaya udang windu, vaname, dan ikan bandeng. Juga terdapat budidaya ikan mas dan ikan nila seluas 260 hektar. Secara keseluruhan, potensi budidaya laut di Banggai luasnya mencapai 6.396 hektar.
“Tetapi yang dimanfaatkan baru 78.000 m persegi untuk budidaya rumput laut dan kerapu KJA, serta kepiting bakau dan mutiara,” papar Herwin.
baca : Banggai Cardinalfish, Ikan Asli Indonesia
Sebagaimana diketahui, Ikan Capungan Banggai sebagai ikan endemik perairan Banggai ditetapkan sebagai ikan yang dilindungi melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No.49/2018 tentang Penetapan Status Perlindungan Terbatas Ikan Capungan Banggai (Pterapogon kauderni).
Sedangkan pelestarian lobster bertelur telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.56/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.). Peraturan ini mengatur lobster yang boleh ditangkap, tidak dalam kondisi bertelur, berbobot diatas 200 gram/ekor, serta panjang karapas lebih dari 8 cm.
Ikan Endemik
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi menjelaskan, ikan BCF ditetapkan sebagai ikan yang dilindungi terbatas berdasarkan tempat dan waktu, karena penurunan populasinya beberapa dekade ini.
Di Amerika Utara, ikan yang sering dijadikan hiasan akuarium itu selalu menjadi perburuan bagi pecinta ikan hias. Perburuan itu, biasanya melibatkan Indonesia sebagai negara asal ikan tersebut.
Perburuan ikan yang merupakan satu-satunya jenis dari genus cardinalfish tropis kecil Apogonidae ini, mengancam populasinya. Apalagi, belum ada lembaga yang sukses membudidayakan sehingga pasokannya masih dari alam.
baca : Banggai Cardinal Jadi Ikan dengan Perlindungan Terbatas di Indonesia
“Penjelasan tentang tempat dan waktu tertentu yang disebutkan di dalam Kepmen, berlaku hanya di wilayah Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah, dan hanya pada bulan Februari-Maret dan Oktober-November,” jelasnya.
Status ikan BCF dalam Kepmen itu dibuat berdasarkan rekomendasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Riset Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP), dimana ikan capungan Banggai mencapai puncak musim pemijahan pada waktu-waktu tersebut.
“Keluarnya Kepmen tersebut menjadi bentuk komitmen dari Pemerintah untuk mengelola ikan endemik Indonesia melalui kaidah-kaidah pengelolaan secara berkelanjutan,” ungkap Brahmantya.
Selain untuk menjaga keberlanjutan perikanan nasional, pembatasan itu juga menjadi bukti bahwa Indonesia berkomitmen dalam menjaga sumber daya hayati dan lingkungannya. Dengan demikian, pemanfaatan ikan capungan Banggai bisa dilakukan secara lestari dan terus berlanjut hingga ke generasi berikutnya.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP Andi Rusandi menambahkan, ikan BCF biasanya hidup berasosiasi dengan bulu babi dan anemon. Sehingga konservasinya perlu terintegrasi dan menyeluruh. Dengan demikian, perlindungan dan pemanfaatan ikan tersebut bisa dilakukan secara bersamaan dan tetap dalam koridor yang aman.
“Paling penting, harus ada juga perlindungan mikrohabitat ikan capungan Banggai melalui pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah,” tegasnya.
Untuk itu perlu keterlibatan pemerintah daerah, yakni Pemkab Banggai Kepulauan, Pemkab Banggai, Pemkab Banggai Laut dan Pemprov Sulteng agar proses konservasi yang akan dan sedang berlangsung berdampak besar.
baca : Serunya Melihat Keluarga Banggai, Ikan Endemik Sulawesi yang Terancam Punah
Peran Daerah
Andi mengatakan Pemprov Sulteng telah melakukan pencadangan Kawasan Konservasi Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Daerah Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan, dan Kabupaten Banggai Laut (BANGGAI DALAKA) seluas 869.059,94 hektare.
Itu, menjadi bukti keseriusan pemda melindungi hayati laut yang statusnya terancam. KKP bersama Pemprov Sulteng juga tengah menyelesaikan penyusunan Rencana Pengelolaan dan Zonasi KKP3K Daerah BANGGAI DALAKA sebagai acuan bagi pengelola dalam melaksanakan kegiatan perlindungan, pelestarian, pemulihan, pemanfaatan (berkelanjutan) sumber daya kelautan dan perikanan.
“Ini dalam konteks siklus pengelolaan adaptif, agar target-target pengelolaan kawasan konservasi dapat tercapai,” sambungnya.
Diketahui, ikan BCF adalah jenis ikan hias air laut endemik Indonesia. Ikan tersebut pertama kali ditemukan di perairan laut Pulau Banggai pada 1920. Selanjutnya, diketahui bahwa penyebaran endemik sangat terbatas dan sebagian besar berada di Kabupaten Banggai Kepulauan dan Banggai Laut Provinsi Sulawesi Tengah.
Sebagai ikan endemik, BCF diketahui memiliki jangkauan yang sangat terbatas dalam suatu wilayah geografis dan diperkirakan hanya mencapai 5.500 kilometer persegi dengan total populasi kecil diperkirakan tak lebih dari 2,4 juta ekor.
Selain di kepulauan Banggai, sebaran BCF juga ada di kepulauan lain. Sebuah populasi kecil ikan tersebut diketahui ditemukan di Luwuk, Sulawesi Tengah dan kemudian ditemukan lagi populasi tambahan di Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Fakta tersebut menegaskan bahwa capungan Banggai adalah terdiri dari populasi terisolasi dan terkonsentrasi.
Meskipun endemik, akibat pelepasan pada jalur pedagangan sebagai ikan hias, populasi introduksi ikan tersebut dapat ditemukan di lokasi lainnya, seperti di perairan Luwuk, Bitung, Ambon, Kendari, Teluk Palu, dan Gilimanuk. Walau demikian, dari hasil penelitian, ikan BCF di kepulauan Banggai memiliki struktur genetika tertinggi dan memiliki corak warna yang khas, dibanding jenis di luar kepulauan Banggai.
(Visited 1 times, 11 visits today)
Related
Baca Berikut nya http://www.mongabay.co.id/2018/05/07/ini-yang-dilakukan-kkp-untuk-lestarikan-ikan-endemik-indonesia-banggai-cardinal/Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ini yang Dilakukan KKP Untuk Lestarikan Ikan Endemik Indonesia ..."
Posting Komentar